Salah satu kelemahan manusia ialah pandangannya yang pendek. Allah
berfirman: “Sekali-kali janganlah demikian. Sebenarnya kamu (hai
manusia) mencintai kehidupan dunia, Dan meninggalkan (kehidupan)
akhirat.”
Karenanya kita gampang tergoda terhadap hal-hal yang
kurang hakiki. Dosa, tidak lain adalah demikian, sesuatu yang dalam
jangka pendek membawa kesenangan, tetapi dalam jangka panjang membawa
kehancuran. Ini dikarenakan efek kelemahan manusia yang tidak sanggup
melihat akibat perbuatannya dalam jangka panjang. Jadi kelemahan manusia
adalah mudah tergoda, tidak memiliki pengendalian diri yang kuat.
Dalam hal ini kita dapat menengok sejarah Nabi Adam dan Ibu Hawa.
Seperti dikisahkan dalam Al Qur’an, Adam & Hawa telah diberi karunia
dan diberkahi berbagai kenikmatan yang melimpah, dan diberi kemudahan
untuk memakan segala buah-buahan di alam syurga, kecuali “Syajaratul
Khuldi” atau “pohon keabadian”. Al Qur’an mengisahkan: Dan kami
berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan
makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu
sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu
termasuk orang-orang yang zalim. Allah memerintahkan Adam & Hawa
menahan diri dan tidak mendekati “buah terlarang”. Namun, karena mereka
tidak mampu menahan diri dari dorongan nafsu syetan, dan keduanya
tergoda janji palsu akan hidup abadi dan memiliki kekuasaan bakal
bertahan sepanjang zaman, maka mereka terusir dari syurga, tersungkur
jatuh ke dalam hidup hina, penuh derita dan nestapa. Kitab suci Al
Qur’an dengan jelas menggambarkan hal ini.
Kemudian syaitan
membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah
saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi (pohon kekekalan) dan kerajaan
yang tidak akan binasa?"
Maka keduanya memakan dari buah pohon
itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya
menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam
kepada Tuhan dan sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya Maka dia
menerima taubatnya dan memberinya petunjuk. Kisah Nabi Adam & Hawa
menjelaskan bahwa sejak awal sejarahnya, umat manusia telah
diperintahkan untuk mampu menahan dan mengendalikan diri sendiri dari
berbagai bentuk kezaliman dan kemaksiyatan.
Puasa sebagai upaya pengendalian diri
Agar manusia mampu memiliki pengendalian diri yang baik, Allah memberi
sarananya melalui perintah berpuasa. Puasa yang dalam bahasa Arab
disebut ”shawama” yang bermakna “menahan”, “berhenti” atau “tidak
bergerak”, secara hakiki mengandung arti “menahan dan mengendalikan
diri”. Puasa bertujuan untuk mengatasi kelemahan yang paling mendasar
dari manusia, yakni kecenderungan untuk bertindak berdasarkan dorongan
nafsu semata. Kemampuan seseorang untuk secara terus menerus menahan
diri dari makan, minum dan hubungan suami istri di siang hari,
menunjukkan bahwa ia telah dapat mengendalikan keinginannya, walaupun
tubuh terus-menerus menuntut dipenuhinya dorongan-dorongan biologis.
Tetapi puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus. Ia juga merupakan
usaha untuk menahan diri dari segala dorongan untuk melakukan tindakan
yang merusak.
Demikianlah, kita mendapati suatu pelajaran
berharga dari ibadah puasa di bulan Ramadhan, yaitu sebuah latihan atau
training untuk menjadi manusia yang mampu mengendalikan diri. Sehingga
setelah bulan Ramadhan berlalu, kita telah siap menghadapi tantangan
hidup yang nyata yang salah satu aspek penting yang dibutuhkan adalah
kemampuan mengendalikan diri. Manusia yang mampu mengendalikan diri,
adalah manusia yang mampu berpandangan jauh ke depan, yaitu sanggup
menunda kenikmatan jasmani yang bersifat sesaat atau sementara, dalam
rangka investasi atau menanam saham kenikmatan yang lebih agung dan
sejati di masa depan. Manusia sebenarnya sudah tahu bahwa hal-hal yang
bersifat jasmani itu tak akan kekal, tetapi anehnya dorongan manusia
untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya seringkali menjadi hal yang utama.
Sehingga nabi Muhammad menyindir mereka dengan sindiran yang keras:
“Akan datang suatu zaman yang dihadapi oleh manusia, di mana perhatian
mereka adalah perut-perut mereka (makan & minum dengan lezatnya);
ukuran kemuliaan mereka adalah harta-harta atau materi; kiblat mereka
adalah seks, dan agama mereka (yang disanjung-sanjung dan diutamakan
oleh mereka) adalah kekayaan harta emas dan perak. Mereka itu adalah
sejelek-jelek makhluq dan mereka tidak akan memperoleh keuntungan dan
kebahagiaan di sisi Allah swt”
Apa yang diucapkan oleh Nabi di
atas sekarang menjadi kenyataan. Kalau kita mau mengamati dengan cermat
mengapa di negeri kita masih saja terjadi berbagai persoalan rumit, maka
akar persoalan dari semua itu adalah pandangan yang sempit dan
ketidakmampuan menahan diri. Terutama yang dilakukan oleh mereka yang
memegang kekuasaan. Karena nafsu serakah, tanpa memperhatikan bahwa
perbuatan curang terhadap negara akan merugikan masyarakat secara luas,
banyak para penguasa yang mencuri kekayaan negara. Banyaknya kasus
remaja yang melakukan tindakan layaknya suami istri padahal mereka belum
diikat oleh ikatan pernikahan, disebabkan karena pandangan yang sempit
dan sesaat untuk memenuhi bisikan nafsu hayawaniyah yang ada pada diri
mereka; banyaknya fakir miskin yang kurang mendapat perhatian dan
kepedulian dari para aghniya’. Ini juga disebabkan karena rakusnya
orang-orang kaya terhadap harta, mereka kikir dan tak mau peduli
terhadap pemecahan problema sosial. Puasa memberikan penyadaran kepada
kita untuk menahan diri dari hal-hal yang sifatnya sementara. Kalau para
penguasa mau menahan diri dari perbuatan curangnya, dan mau menyadari
bahwa kekayaan negara adalah untuk semua warga negara, bukan untuk diri
pribadi, Insya Allah krisis yang kita alami akan berangsur menghilang.
Kalau para remaja mau menahan diri dari memperturutkan nafsu
hayawaniyah, niscaya masa depan mereka akan lebih baik dan beradab, dan
mereka tidak direpoti oleh urusan-urusan yang belum waktunya mereka
urus. Kalau orang kaya sanggup menahan nafsu serakahnya dan sadar bahwa
dalam harta di genggamannya terdapat hak fakir miskin, niscaya
ketimpangan sosial tidak menjadi kian parah. Kalau orang kaya sanggup
menomorduakan sifat kikirnya, maka segala kegiatan untuk kebaikan umat
Islam, tak akan sampai kesulitan dalam soal pendanaan. Apa yang telah
diuraikan tadi membuktikan betapa pentingnya pengendalian diri. Puasa
ramadhan yang sedang kita laksanakan memberikan pembelajaran yang
demikian.
Pengendalian diri dan hidup sukses.
Agar kita
lebih mantap dalam menghayati pentingnya pengendalian diri, marilah kita
lihat sebuah bukti dari hasil penelitian yang dilakukan di Amerika
Serikat. Sebuah percobaan penting pernah dilakukan di Stanford
University pada tahun 1960-an, dimana anak-anak pra sekolah yang berusia
4 tahun dites kemampuannya untuk menahan godaan. Oleh penguji, sekotak
marsmellow (manisan) diletakkan di dalam ruangan di mana anak-anak itu
berada, lalu penguji itu meninggalkan mereka. Kepada anak-anak itu
diberitahu bahwa mereka boleh segera mengambilnya sebuah. Namun jika
mereka mau menunggu sampai penguji datang kembali, mereka boleh
mengambil dua manisan sekaligus. Banyak di antara anak-anak tersebut
yang segera mengambil satu dan memakannya, namun ada beberapa anak yang
bersedia menunggu untuk memperoleh dua manisan. Anak-anak tersebut
diikuti perkembangannya sampai mereka berusia 14 tahun, untuk melihat
bagaimana mereka menjalani hidup. Anak-anak yang mampu menahan godaan
pada usia 4 tahun, pada saat mereka remaja ternyata memiliki kecakapan
sosial seperti orang dewasa, yaitu secara pribadi lebih matang, tegas,
dan lebih mampu menghadapi frustrasi (perasaan putus asa). Namun
sepertiga atau lebih dari mereka yang tergoda untuk mengambil manisan
pada kesempatan pertama, cenderung memiliki kualitas pribadi yang lebih
rendah dan secara kejiwaan mereka relatif lebih bandel. Yang lebih
menakjubkan, mereka yang pada usia 4 tahun mau menunggu secara sabar,
akhirnya tumbuh menjadi siswa yang lebih unggul dari anak-anak lain.
Hasil penelitian tadi membuktikan bahwa tidak ada ketrampilan kejiwaan
yang lebih mendasar selain ketrampilan menahan diri. Kemampuan menahan
diri ini merupakan akar dari seluruh ketrampilan pengendalian emosi
diri, karena semua emosi, secara alamiah, mengarah kepada satu atau
lebih dorongan untuk bertindak. Di dalam keluarga, jika orang tua selalu
mengizinkan segala sesuatu yang diinginkan anak, dan selalu memberi
segala sesuatu yang diminta anak, maka kemampuan mengendalikan diri si
anak cenderung sangat rendah. Orang yang memiliki pengendalian diri yang
baik, maka ia akan mampu meraih predikat manusia yang bertaqwa
(muttaqin), yaitu predikat tertinggi dalam prosesi keagamaan kita.
Mengapa? Salah satu tanda orang yang bertaqwa adalah orang yang beriman
kepada Allah dalam kegaiban. Dalam keadaan kita tidak melihat-Nya dengan
mata kepala kita, namun kita menyadari kehadiran-Nya dalam hidup kita.
Maka jika kita masih melanggar batas dalam kegaiban, maka sesungguhnya
kita tidak beriman. Kata Nabi “orang tidak akan berbuat dosa selagi ia
beriman”. Artinya dia memiliki pengendalian diri yang baik. Jadi melalui
pengendalian diri yang baik akan dapat dicapai taqwa. Melalui taqwa
kita menyadari akan keberadaan dan kehadiran Allah dalam hidup ini. dan
Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa
yang kamu kerjakan. Kesadaran bahwa Allah selalu beserta kita mempunyai
efek atau pengaruh yang besar sekali dalam hidup kita.
Pertama
kesadaran itu memberikan kemantapan hidup, bahwa kita ini tidak pernah
sendirian. Kita selalu bersama Tuhan. Oleh karena itu kita tidak akan
takut menempuh hidup ini. Sikap kita dalam hidup adalah: Cukuplah bagi
kita itu Allah, dan Dialah sebaik-baik tempat bersandar.
Kemudian
dampak yang kedua, bahwa dengan kesadaran hadirnya Allah dalam hidup
kita, dan segala sesuatu yang kita kerjakan menurut kesadaran bahwa
Allah mengawasi dan memperhitungkan perbuatan kita, maka kita akan
dibimbing ke arah budi pekerti luhur, ke arah akhlaqul karimah. Mengapa ?
Karena kalau kita menyadari bahwa Allah selalu hadir dalam hidup kita,
maka tentunya kita tidak akan melakukan sesuatu yang sekiranya tidak
mendapat perkenan dari Dia, tidak mendapat ridho dari Dia. Alangkah
eloknya kehidupan masyarakat kita, manakala kita selalu merasakan
kehadiran Tuhan di sisi kita. Kita menjadi merasa terawasi sehingga kita
menjadi lebih berhati-hati jangan sampai kita terjebak untuk berbuat
yang di luar tuntunan Allah.
No comments:
Post a Comment